Dewan Pers Tolak Revisi UU Penyiaran, Ini Kata DPR

November 22, 2024 | 07:18
Anggota Komisi I DPR RI, Desy Ratnasari.

kabarikaltara.com. JAKARTA – Wacana penolakan terhadap Revisi UU Penyiaran sempat bergilir beberapa waktu lalu, salah satunya berasal dari Dewan Pers dan Komunitas Pers. Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi I DPR RI, Desy Ratnasari, mempertanyakan latar belakang penolakan terhadap RUU yang digadang akan menggantikan UU Nomor 32 Tahun 2002 itu.

“Menurut saya, kalau memang sebuah penolakan dalam bentuk ketidaknyamanan terhadap substansi, pasal berapa itu bisa dibicarakan dan bisa dikompromikan. Menurut saya itu tidak serta-merta menolak tanpa urutan penolakan atau keterangannya atau penjelasannya atau argumentasinya. Saya rasa ini juga untuk kebaikan bersama,” ujar Desy, Senin (18/11/2024).

Sebelumnya, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi I dengan Dewan Pers, Komisi Informasi Publik (KIP), dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang digelar Senin (18/11/2024), Desy menyoroti ketidakberdayaan KPI dalam mengawasi platform digital. Dengan gamblang, ia mengungkapkan kekhawatirannya terkait penggunaan platform digital di kalangan anak-anak.

Pada rapat tersebut, ia tak menampik banyak orang tua yang memberikan anak akses ke perangkat digital termasuk platform hiburan. Ia lantas memberikan perhatian pada iklan pop-up yang sering muncul saat anak-anak menonton, yang tidak selalu sesuai dengan usia anak-anak. Beberapa iklan tersebut bahkan mengarahkan pada konten berlangganan seperti sinetron atau drama yang mengandung unsur-unsur yang tak sesuai dengan budaya dan norma yang berlaku di Indonesia.

Desy menilai salah satu upaya untuk meminimalisir dampak buruk dari terpaan informasi dan stimulus yang didapatkan dari berbagai platform digital adalah dengan memberikan penguatan kepada KPI melalui Revisi UU Penyiaran.

Revisi ini diperlukan untuk melindungi anak-anak dan generasi muda dari konten yang tidak sesuai usia, yang bisa mengikis budaya dan nilai-nilai nasionalisme. Selain itu, Desy mengungkapkan bahwa KPI saat ini belum memiliki kewenangan yang cukup untuk melakukan pengawasan efektif, sehingga revisi UU Penyiaran menjadi langkah krusial untuk memperkuat peran dan kewenangan lembaga tersebut.

“Sebenarnya perlindungan adab, akhlak, nasionalisme itu intinya (revisi UU Penyiaran). Nah sementara KPI sendiri tidak punya wewenang untuk melakukan hal itu, untuk melakukan pengawasan, untuk memberikan peringatan dan sebagainya. Salah satu cara pintu masuk untuk memberikan penguatan kewenangan dan kelembagaan KPI ini adalah melalui Revisi UU Penyiaran tadi,” lanjutnya.

Lebih jauh, Politisi Fraksi PAN ini menyatakan bahwa KPI, KIP, dan Dewan Pers seharusnya dianggap sebagai satu kesatuan yang bekerja bersama dalam memberikan informasi yang akuntabel dan bertanggung jawab kepada masyarakat. Ia menambahkan bahwa informasi yang diawasi oleh lembaga-lembaga tersebut juga memiliki peran penting dalam mencerdaskan anak bangsa. Untuk mencapai hal ini, ia menekankan perlunya kerjasama yang baik antar lembaga tersebut.

Dilansir dari berbagai sumber, penolakan terhadap revisi Undang-Undang Penyiaran muncul karena draf RUU tersebut berpotensi mengancam kebebasan pers dan mereduksi independensi media. Adapun salah satu pasal yang dianggap kontroversial adalah terkait dengan penayangan jurnalisme investigasi.

Adapun Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran telah masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2019-2024 dan diajukan kembali oleh DPR untuk masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025. (**)

Baca Lainnya

Video Story

Trending