kabarikaltara.com. SURABAYA – Putusan hakim terhadap kasus yang menjerat Mardani Maming dianggap berlebihan. Kali ini, sejumlah tokoh menyuarakan keperihatinan atas putusan yang menimpa Mantan Bupati Tanah Bumbu tersebut.
Putusan yang menjatuhkan vonis bersalah atas tuduhan suap terkait izin usaha tambang ini dinilai mencerminkan kecenderungan “presumption of corruption” atau praduga korupsi yang berlebihan.
Ketua PW Ansor Jawa Timur, Musaffa Safril menyampaikan pandangannya bahwa tindakan Mardani Maming masih dalam batas kewenangan seorang kepala daerah.
“Apa yang dilakukan Mardani Maming, hemat kami, tidak melanggar prosedur. Tindakan tersebut dilakukan dalam kapasitasnya sebagai kepala daerah,” jelas Musaffa, melalui keterangannya, yang diterima redaksi, Selasa (29/10).
Ia juga mendesak agar Maming dibebaskan untuk mengembalikan martabat hukum di Indonesia. Musaffa menegaskan bahwa keputusan ini berpotensi merusak pemisahan antara tindakan administratif dan tindak pidana korupsi.
“Ada kecenderungan untuk menganggap setiap tindakan pejabat publik sebagai korupsi, tanpa meninjau secara seksama unsur-unsur yang memenuhi syarat pidana,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa keputusan yang cenderung berat sebelah ini dapat merusak prinsip keadilan.
“Jika alat bukti ditelaah dengan jujur dan objektif, seharusnya tuduhan umum tidak akan terbukti,” tambahnya.
Lebih lanjut, Musaffa mengamati adanya kecenderungan di kalangan hakim untuk menetapkan tuduhan korupsi tanpa peninjauan mendalam atas unsur-unsurnya.
“Hal ini menunjukkan bahwa hakim seakan mengabaikan aspek kebenaran dalam penilaian mereka,” tegasnya.
Musaffa menutup pernyataannya dengan harapan bahwa Presiden Prabowo Subianto dapat memperbaiki sistem hukum di Indonesia dan memberikan kebebasan kepada Mardani. Pernyataan ini menjadi catatan penting bagi publik untuk mempertimbangkan kembali aspek keadilan dan objektivitas dalam penegakan hukum, serta menekankan pentingnya asas praduga tak bersalah.
Dalam pandangan lain, Topo Santoso, yang juga anggota Tim Asistensi Penyusunan Rancangan UU Pemberantasan Tipikor, meminta agar Mardani H. Maming segera dibebaskan karena adanya kekhilafan hakim. Ia menekankan bahwa unsur menerima hadiah dalam dakwaan tidak terpenuhi, karena tindakan bisnis seperti fee dan dividen adalah hubungan keperdataan yang tidak bisa diadili dalam ranah pidana.
Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran, menilai bahwa ada delapan kekeliruan serius dalam penanganan perkara Mardani. Ia menegaskan bahwa proses hukum terhadap terdakwa tidak hanya menunjukkan kekhilafan, tetapi juga kesesatan hukum yang serius.
“Proses hukum terhadap terdakwa bukan hanya menunjukkan kekhilafan atau kekeliruan nyata, tetapi merupakan sebuah kesesatan hukum yang serius,” tegas Romli.
Dukungan juga datang dari Hendry Julian Noor dari Universitas Gadjah Mada, yang menilai bukti-bukti yang diajukan oleh jaksa tidak cukup kuat untuk membuktikan adanya unsur pidana korupsi. Ia menekankan bahwa tindakan Mardani masih berada dalam koridor kewenangannya sebagai kepala daerah dan tidak melanggar prosedur yang berlaku.
Desakan pembebasan Mardani Maming semakin kuat setelah adanya eksaminasi putusan hakim yang menemukan banyak kekhilafan. Mahrus Ali, pengajar Hukum Pidana di Fakultas Hukum UII, menegaskan bahwa Mardani tidak melanggar semua pasal yang dituduhkan dan harus dibebaskan demi hukum dan keadilan.
“Koreksi putusan menjadi penting, ini tidak hanya untuk Maming, tetapi untuk mempertebal rasa kepercayaan publik pada Mahkamah Agung,” ujar Mahrus. (*)