Butuh Pemimpin yang Peduli Pers

October 19, 2024 | 20:32
OPINI: Ketua PWI Kalimantan Utara Periode 2021-2026, Nicky Saputra Novianto

Kabarikaltara.com. Tarakan – Kaltara saat ini sedang membutuhkan kepala daerah yang peduli dengan pers. Peduli dalam artian ini adalah kepedulian yang bukan sekedar formalitas semata. Pers, merupakan profesi yang menjalankan amanat Undang – Undang (UU) sebagaimana yang tertuang dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Namun, kerap kali pers masih dipandang sebelah mata di teras Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini.

Kalimantan Utara (Kaltara) resmi menjadi Provinsi ke-34 sejak terbitnya UU Nomor 20 Tahun 2012 dengan terdiri dari 5 wilayah administrasi, yakni 1 kota dan 4 kabupaten. Kota Tarakan, Kabupaten Bulungan, Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, dan Kabupaten Tana Tidung. Dalam Pasal 7 UU 20 Tahun 2012, ditetapkan Tanjung Selor sebagai ibu kota Kaltara yang berdampingan langsung dengan negeri jiran, Malaysia.

Berbagai perusahaan media Kalimantan Timur (Kaltim) yang telah menancapkan kaki perusahaan dan mencetak berbagai Sumber Daya Manusia (SDM), menjadi cikal bakal lahirnya regenerasi pers yang masif sejak saat itu. Selain SDM, perusahaan media juga masih ditopang penjualan produk berita dengan tren positif sehingga bisa dikatakan menjadi tulang punggung kehidupan berindustri media, periode awal Kaltara.

Irianto Lambrie ditetapkan Mendagri, Gunawan Fauzi sebagai Penjabat (Pj) Gubernur pada 22 April 2013. Dua tahun menjadi Pj, Kaltara masuk dalam bursa Pemilihan Gubernur (Pilgub) 2015. Di masa itu, Kaltara kembali dipimpin seorang Pj Gubernur, Triyono Budi Sasangko selama 296 hari atau periode 2015-2016. Pilgub 2015 Irianto Lambrie menang dan menjabat sebagai Gubernur periode 2016-2021. Kaltara pada 2021 tercatat pernah dijabat Penjabat Harian (Ph) Gubernur, Suriansyah selama tiga hari sebelum digantikan Zainal Arifin Paliwang yang mengalahkan Irianto Lambrie pada Pilgub 2020.

Cash flow industri media periode 2013 hingga 2021 cukup subur untuk menghidupi SDM di dalamnya, termasuk pers itu sendiri. Bisnis advertorial dan model bisnis industri pers lainnya benar – benar stabil, bukan hanya di tataran provinsi, tetapi juga di pemerintahan kota dan kabupaten. Sehingga, tak sedikit perusahan pers mendirikan biro perwakilan dan mencetak SDM pers di masing-masing wilayah Kaltara.

Pertumbuhan industri media dalam lima tahun pertama terbentuknya Kaltara seolah dijajah oleh kepentingan penguasa. Saya baru benar-benar bergabung dengan dunia jurnalistik ini sekitar tahun 2015. Sebelumnya, pada 2013, saya aktif menulis artikel di salah satu blog kawan. Baru pada 2014, saya bergabung di salah satu perusahaan media cetak harian sebagai desainer halaman koran, yang sebenarnya bukanlah posisi yang saya idamkan.

Namun, melalui divisi itulah saya mendapatkan banyak ilmu menulis, karena kebetulan bekerja bersama para editor berita. Artinya, saya lebih banyak menerima ilmu secara tidak langsung dari para editor ini. Kebetulan juga, saya adalah tipikal orang yang suka belajar diam-diam; saya menyerap ilmu dengan bertanya, mengamati, dan kemudian memodifikasinya.

Meskipun sebagai desainer koran, saya juga sering terlibat langsung dalam berbagai kegiatan perusahaan. Lebih tepatnya, saya nimbrung untuk membantu kegiatan sambil ‘mencuri’ ilmunya. Soal bayaran, itu urusan belakangan. Bagi saya, ilmu, pengetahuan, dan pengalaman itu harga yang mahal.

Kegiatan – kegiatan divisi pemasaran dan divisi iklan seringkali membuat saya tertarik. Jauh hari sebelum mendaftar di perusahaan ini, beberapa artikel yang saya tulis dan dimuat di dalam blog kawan, lebih sering menulis tentang ekonomi. Lebih tepatnya mengkritik persoalan ekonomi, dengan menuangkan solusinya.

Metode pemasaran dan iklan industri media, pelan tapi pasti sudah saya pahami cara mainnya. Cara di mana koran dan produk berita bisa menjadi satu napas dengan model penawaran iklan kepada klien. Tapi, cara ini tidak bisa dijalankan sembarangan. Bila tidak ingin merusak ritmenya, harus memiliki tim yang solid dan bisa dipercaya satu sama lain.

Di industri media, tidak ada pelatihan khusus kepada siapapun yang bekerja di dalamnya. Latihan hanya didapatkan ketika sudah berhadapan dengan klien. Setelahnya lakukan evaluasi kinerja dan evaluasi diri untuk menjadi SDM yang unggul di dalam industri media.

Hingga pada November 2015, saya benar-benar mendapat kesempatan menjadi wartawan di perusahaan. Bagi saya, kesempatan ini tidak akan datang dua kali. Relasi perusahaan sudah saya dapatkan, tinggal turun gunung memperluas relasi di lapangan. Akhirnya, di kesempatan pertama liputan, saya langsung menawarkan iklan kerjasama dengan klien sekaligus sebagai narasumber pertama. Maklum, sebelum menjadi orang yang bekerja di industri media, saya bekerja di dua distributor kendaraan ternama sebagai marketing dan pemasaran. Kebiasaan menawarkan produk tak bisa hilang jika bertemu dengan orang baru.

Setelah menjadi wartawan, kombinasi itu seakan hidup dengan sendirinya. Kombinasi yang menghasilkan pendapatan sekaligus memperluas relasi menjadi sangat kuat dalam membentuk etos kerja. Kombinasi liputan sambil menawarkan koran dan iklan itu ternyata menyenangkan. Sampai suatu ketika, saya diperingati seorang senior untuk tidak mengambil lahan iklannya dan diminta fokus saja untuk liputan.

“Anak kemarin sore dilarang nawarin iklan di sini. Liputanmu aja belum masuk halaman utama,” ucap seorang senior, kala itu. Padahal dia tidak tahu saja kalau tulisan saya silih berganti masuk halaman satu dengan isu yang seksi.

Kalimat peringatan itu sontak bikin kaget, sekaligus harus dipatuhi. Lagian, saya tidak satu perusahaan dengan senior ini dan saya tidak ingin kehilangan relasi, termasuk senior yang memberikan peringatan. Tapi di lain sisi, tersirat di benak akan menyaingi senior ini suatu saat nanti dengan prestasi, sekaligus menjawab julukan “Anak Kemarin Sore”.

Saya baru benar – benar mendalami ilmu jurnalistik setelah menyelesaikan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) kelas Madya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 2016. UKW Madya, setara dengan redaktur atau bisa juga wakil redaktur pelaksana. Sertifikat ini penting bagi saya yang berprofesi sebagai wartawan. Karena kalau bukan kompeten, seseorang belum dapat disebut wartawan.

Profesi wartawan yang disebut sebagai salah satu pilar negara ini, kerap menjadi bulan-bulanan pihak manapun. Pemerintahan misalnya, enggan dikritik kebijakannya. Padahal, salah satu fungsi pers adalah sebagai kontrol sosial. Namun, kadang-kadang, fungsi sebagai kontrol sosial ini disalahartikan oleh pemerintah. Ada yang menyebut bahwa fungsi pers sebagai kontrol sosial merupakan bentuk kesengajaan untuk menjatuhkan citra pemerintahan. Entahlah.

Surat Kabar Harian (SKH) sangat diminati warga Kaltara. Ini jauh sebelum adanya media siber yang tergolong menyajikan berita instan dan kurang berimbang. Namun, pembaca pada umumnya berlaih dari media konvensional ke media digital. Tak lain tak bukan, semuanya terpengaruh tingginya penggunaan media sosial pada saat itu.

Di zaman SKH masih eksis, pembaca selalu disuguhkan informasi yang terbarukan. Suatu informasi yang digali berlandaskan isu yang matang serta berdata. Jika berita itu sudah disiarkan, pasti ada yang kebakaran jenggot. SKH tempat saya bekerja, menyiarkan berbagai isu menarik yang dapat membuat pembaca tertarik. Namun pada akhirnya, harus dikebiri penguasa tanpa mempertimbangkan nasib puluhan SDM yang bergantung di dalamnya.

Takdir sudah berkata, sejarah terukir di Kaltara. SKH yang mampu memberikan informasi jenaka nan berdata itu sudah tutup usia pada 2018 silam. Itu semua gara – gara informasi beritanya yang teramat jujur, data – datanya bisa dipertanggungjawabkan, tapi sayangnya kalah dengan uang yang diberikan penguasa. Semenjak kejadian tersebut, uang adalah segalanya bagi industri media meski dengan mengesampingkan UU Pers itu sendiri.

Meskipun uang adalah sumber utama dalam berindustri, namun sepemahaman saya uang yang didapatkan industri media adalah dengan metode – metode yang telah ditafsirkan dalam UU Pers. Jujur, semenjak kejadian itu saya agak ngeri dan khawatir dengan profesi ini. Profesi mulia yang sering disebut banyak orang, sepertinya tidak berlaku bagi yang “nekat” menyiarkan isu atau fakta sebagai kontrol sosial.

Sebenarnya, saya juga tak begitu heran dengan kejadian itu. Sebab, sewaktu saya magang di salah satu industri pers di Jakarta tahun 2017, pelemahan terhadap media sedang berlangsung. Era di mana perusahaan media di Jakarta banyak yang gulung tikar. Beberapa di antaranya perusahaan media ternama. Sementara perusahaan media tempat saya magang, kerap kali diperingati Istana karena berita-beritanya yang digemari pembaca.

Hal yang sama, ternyata berlaku di Kaltara. Sepulang saya dari magang, tahun 2018. Banyak narasumber menghindar saat diwawancara. Alasannya beragam, sampai ada yang ganti nomor handphone ketika saya mengangkat isu dugaan mark up infrastruktur pembangunan salah satu wilayah di Kaltara. Sampai pada akhirnya, saya ditegur seorang senior untuk tidak melakukan pendalaman berita itu lagi. Saya hanya membalas teguran itu dengan senyum.

Semenjak SKH tempat saya bekerja dan meniti karir dikebiri di pemerintahan zaman Gubernur Irianto Lambrie, saya sempat bertekad tidak mau lagi menjalani profesi mulia ini. Profesi yang sudah mengantarkan banyak ilmu dan membiayai hidup serta keluarga saya. Akhirnya, Jakarta menjadi tujuan selanjutnya.

Sebelum pulang ke Tarakan, tak sedikit narasumber yang akrab. Setelah mereka tahu saya tidak lagi bekerja di SKH itu, saya ditawari berbagai kerjaan menjanjikan di Jakarta. Bukan hanya kerjaan kembali menjadi pewarta, melainkan pekerjaan yang mungkin sangat baru bagi saya meski tak jauh – jauh dari kepenulisan. Terakhir, saya ditawari sebagai humas di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang biro periklanan digital. Namun, saya tolak dengan alasan istri tidak betah dengan suasana Jakarta.

Sepulang dari Jakarta, akhir 2018 menjadi titik terendah sekaligus mengawali berbagai karir di luar profesi kewartawanan. Saking kekehnya enggan kembali ke profesi mulia itu, saya sampai – sampai menjadi perantara jual beli peralatan Rumah Burung Walet (RBW), perantara penjualan sarang walet, perantara penjualan minyak tanah ke desa, perantara pembelian suku cadang kendaraan alat berat, jadi desainer grafis di foto copy-an, ngojol hingga jadi OB di salah satu perkantoran. Semuanya saya kerjakan sekaligus. Hingga pada akhirnya, saya tetap kembali lagi ke profesi mulia ini.

Saya kembali karena punya cita-cita bahwa profesi ini bisa dihargai para pempimpin dan koloninya. Jangan pernah menganggap profesi ini adalah batu sandungan dalam suatu tatanan pemerintahan dan perdagangan. Justru, tanpa pers, bisa apa suatu daerah? Bukankah kemerdekaan negara ini dibantu perjuangan pers juga? Tanpa pejuang pers yang turut menyiarkan kemerdekaan ke seluruh pelosok negeri ini, mungkin nenek moyang kita tidak tahu jika Indonesia sudah merdeka.

Pihak manapun yang menekan atau melarang kemerdekaan pers adalah suatu kelompok yang lebih jahat dari ide-ide penjajah. Kelompok ini mungkin beranggapan bila pers harus dibungkam demi kelancaran misi mereka dalam menjalankan persekongkolan yang tak tahu memihak ke mana. Mengatasnamakan kesejahteraan rakyat, namun, kerap kali didapati ketimpangan berpikir dalam menjalankan roda pemerintahan. Ditambah lagi, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga sudah menjadi mitra pemerintah. Kritik kebijakan adalah suatu kesalahan yang fatal. Boleh kritik, namun hanya sebatas formalitas agar berbagi proyek tetap lancar.

Sepuluh tahun terakhir, industri pers semakin melemah dan melempem. Apalagi di daerah seperti Kaltara. Pers bisa saja dianggap “hama” bagi sebagian pihak yang tak menginginkan kehadirian pers. Bagi mereka yang tidak suka pers, kami adalah profesi yang tidak harus ada sebagai kontrol sosial. Seharusnya, peran pers hanya sebatas membangun citra positif tanpa kontrol sosial. Lalu, dengan begitu, masih adakah pemimpin yang berpihak dengan pers hari ini?

Peran pers sebagai kontrol sosial bisa dimaknai sebagai wasitnya pemerintahan daerah. Di Kaltara, pemerintah dan masyarakat adalah dua kelompok yang sedang bertarung di arena dengan waktu yang panjang. Di dalam suatu pertandingan yang tak menggunakan wasit, bisa dipastikan ada kecurangan  dan ketimpangan akan terjadi. Maka, tak heran bila babak per babak pertandingan dua kelompok ini lebih dikuasai kelompok pemerintahan karena peran wasit dalam hal ini tidak lagi berfungsi maksimal.

Jika ada pers dalam suatu industri media yang nekat menjalankan peran wasitnya dengan maksimal, maka siap – siaplah dikebiri. Awalnya akan mendapat berbagai tekanan dan teror, lalu akan ditumbangkan dengan metode playing victim. Maklum, hidupnya industri media di daerah sangat bergantung dengan uang pemerintah. Dari pada industrinya yang dikebiri, pemilik industri biasanya lebih memilih membuang SDM-nya.

Bagi saya, industri pers hingga hari ini sangat baik dan patuh kepada pemerintah, forkopimda, dan pengusaha. Bayangkan jika pers menguliti izin tambang ilegal, atau tambang legal yang banyak menyalahi aturan pemerintah, namun masih tetap berproduksi. Dengan segudang data dan bukti lapangannya, bukankah pemerintah dan koloninya akan mendapat sanksi sosial dari masyarakat luas?

Di sisi lain, tak sedikit perdagangan ilegal yang tak memihak masyarakat kecil yang justru menguntungkan sejumlah penguasa. Pers tahu dan hanya memilih diam. Bukan karena tidak mau tahu, meski pers bertindak sebagai kontrol sosial, namun tak ada jaminan kehidupan pers aman-aman saja. Padahal, pers menjalankan amanat Undang-Undang. Namun, kerap kali dilaporkan sebagai penyebar informasi hoax yang disangkutpautkan ke UU ITE. Miris.

Kepala daerah pun sama. Ada ketakutan terhadap kritik dari kontrol sosial ketika menjabat. Sebagai Ketua PWI Kaltara, tak sedikit cerita atau laporan bahwa adanya tekanan yang terjadi kepada pers kala memberikan berita kritik. Ketika saya hubungi kepala daerah yang dimaksud untuk mengkonfirmasi laporan-laporan itu, pers malah dianggap menyebar fitnah dan lain sebagainya. Pers diminta menyiarkan pencapaian yang positif hingga pers dianggap tidak tahu diri. Saya tidak terkejut, karena rata – rata pemimpin daerah memang punya anggap begitu.

Hingga saat ini, saya tidak punya PT media siber untuk dijadikan pemasukan dalam menyerap APBD daerah-daerah di Kaltara. Padahal membuatnya mudah dan terjangkau sekali. Sejak 2017 konsep dan formulanya sudah saya miliki. Bahkan, bisa menjadi suatu perusahaan media siber yang kredibel pemberitaan dan pemasukannya. Tapi saya urungkan, lebih baik bantu besarkan perusahaan media siber lain agar memiliki keselarasan konsep ke depannya.

Ada beberapa industri pers siber yang saya bantu naik daun. Saya tidak akan sebutkan, nanti dibilang ngaku-ngaku. Sekarang sudah eksis. Formulanya saya kasih cuma-cuma. Tapi bukan uang tujuan saya, melainkan salah satu cita-cita membangkitkan gairah industri pers siber di Kaltara agar memiliki kesamaan konsep kerja, yakni sama – sama peduli akan pentingnya karya intelektual pers.

Karya intelektual pers itu mahal. Pers yang kompeten bisa disandingkan dengan siapapun. Kepala daerah sekalipun akan mati kutu jika berhadapan dengan pers yang merawat intelektualnya. Wawasan pers jangan diragukan. Pers tidak mendalami suatu bidang tertentu, namun kerap kali menguasai ilmu yang didalami orang-orang tertentu. Ekonomi, Hukum, dan politik misalnya. Pers yang berkecimpung di situ, akan jauh lebih meguasai model intelektualisasinya ketimbang pemimpin tertentu di Kaltara.

Sehingga, perlu adanya pemimpin – pemimpin daerah ini yang berpihak dengan pers ke depannya. Pemimpin yang berpihak ialah pemimpin yang mengedepankan kehidupan dan kemerdekaan pers di Kaltara. Selama pers masih berdiri di Provinsi ke-34 ini, maka selama itu pula pemerintahan masih berhadapan dengan pers. Pemerintahan yang sehat adalah pemerintahan yang dapat menerima pers dengan segala pertanggungjawabannya terhadap UU Pers itu sendiri. (*)

Penulis: Nicky Saputra Novianto

Penyunting : Enci Dayang Melisya Muharriyani

Baca Lainnya

Video Story

Trending